Menghadirkan Tuhan di Dalam Diri
Menghadirkan Tuhan di Dalam Diri

Segera Terbit!!!

Jika kesadaran ketuhanan memiliki peran vital bagi kemanusiaan, maka pertanyaan yang perlu diajukan adalah dengan cara bagaimana Ki Ageng memikirkan problem ketuhanan yang membuat buah permenungannya itu menjadi begitu berarti—setidaknya bagi saya pribadi—sehingga kemudian tidak berlebihan ketika menilainya sebagai sesuatu yang orisinal? Sejauh yang saya pahami, orisinalitas itu dapat ditemukan dalam dua perkara: (1) tidak doktriner, atau melampaui doktrin-doktrin baku dalam agama-agama resmi dan (2) mengusung ciri apofatik, atau mengakui eksistensi Tuhan justru dengan menihilkan semua konsepsi kita tentang-Nya. Bagi saya pribadi ini adalah ikhtiar intelektual yang berani dan menantang, dan oleh karena itu saya secara sadar menjadikannya sebagai mitra dialog bagi upaya saya memaknai pergulatan keagamaan saya sendiri.
Meskipun demikian, saya tidak memaksudkan buku ini sebagai gambaran dari pergulatan keagamaan saya pribadi sepenuhnya seperti yang menjadi ciri dari sebuah memoar spiritual, namun mungkin akan lebih tepat jika buku ini dilihat sebagai sebuah pembacaan saya yang lebih intim dan intens atas pemikiran ketuhanan Ki Ageng, di mana saya bisa menyisipkan aspirasi-aspirasi personal saya dalam proses pembahasan. Kalau boleh mendaku, saya sendiri merasa lebih nyaman ketika menyebut buku ini sebagai “tafsir keagamaan” saya atas “pemikiran ketuhanan” Ki Ageng Suryomentaram, yang tentunya saya capai dengan memanfaatkan pemikiran-pemikiran dari banyak otoritas keagamaan dan ilmiah penting yang dapat saya akses.
Kalaupun ada nuansa “refleksi teologis” dalam buku ini sebaiknya juga dilihat sebagai upaya saya dalam mencari sandaran wawasan keagamaan yang dapat menerangi pengalaman keagamaan saya pribadi. Ini adalah proses saya sebagai individu beragama dalam merefleksikan pengalaman saya berdasarkan sistem iman saya melalui pembacaan atas pemikiran ketuhanan Ki Ageng Suryomentaram. Acap kali kita menemukan suatu pemahaman baru dalam diri kita setelah mengalami perjumpaan dengan pemikiran-pemikiran orang lain, yang melalui cara—entah lembut atau menggetarkan—kemudian menjadi pemikiran kita sendiri. Refleksi teologis mencoba mencari gambaran yang lebih utuh tentang pengalaman kita dalam hubungannya dengan pengalaman orang lain atau kehidupan secara keseluruhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *