Manajemen Transformasi dan Akselerasi Perbankan Syariah

Segera Terbit

Manajemen Transformasi dan Akselerasi Perbankan Syariah

Penulis:

Selamet Riyadi
Hendra Kurniawan
Muhammad Iqbal
Fithra Faisal Hastiadi

 

Setelah tumbuh nyaman dalam kisaran 4.4-4.5 % sejak awal millennium,
pertumbuhan ekonomi dunia paska krisis finansial global tahun
2008, tampak terpekur di di kisaran dua hingga 3 persen dan hampir
tak pernah menyentuh level sebelum goncangan krisis tersebut.
Pada periode tersebut, Amerika Serikat yang menjadi
episentrum krisis mengalami lonjakan Credit Default Swap (CDS)
yang berlipat. Jumlah CDS yang outstanding pun membuat para
pembuat kebijakan kehilangan nalar, segala daya digunakan
untuk menyelanatkan perekonomian yang tengah limbung. Salah
satunya adalah menyerap obligasi korporat yang profil risiko nya
sangat tinggi bahkan cenderung penuh racun. Suatu hal yang jauh
dari standar buku teks dan jauh dari khotbah makroprudensial para
ekonom barat. Namun demikian, kegalauan dari para pembuat
kebijakan dapat dimengerti, karena CDS outstanding ketika itu
sudah jauh diatas Produk Domestik Bruto Amerika ketika itu.
Sebagaimana will smith yang menampar chris rock ketika istrinya
dihina roastingan nirempati, dominasi amygdala terhadap pondasi
nalar pembuat kebijakan ketika itu mendapat pemakluman.

Apa penyebab krisis? Jeffrey Sachs dalam bukunya “The Price
of civilization” menunjuk ceramah inagurasi Reagan tagun 1981
sebagai biang keroknya, bertentangan dengan keyakinan selama
ini bahwa krisis adalah bentuk siklus sinusoidal alami. Pada tanggal
20 Januari 1981 di hari cerah yang sedikit dingin, Presiden Ronald
Reagan menyampaikan kalimat yang mahsyur, “government is not
the solution to our problem, government is the problem.” Kalimat
ini mengemuka ketika Reagan melihat hambatan ekonomi utama
Amerika adalah pemerintah yang terlalu ketat mengontrol. Sejak
ceramah tersebut, munculah mantra liberalisasi yang berlebihan.
Celakanya, dengan Amerika serikat sebagai patron global, ini
juga memacu negara-negara lain untuk melakukan strategi yang
serupa. Orang kaya pun semakin kaya karena tanggung jawab dan
kontribusinya terhadap negara semakin memudar, seiring dengan
dilepasnya kontribusi pajak secara lamat-lamat. Akibatnya negara
memiliki keterbatasan kapasitas untuk menciptakan mitigasi yang
memadai untuk berkelit dari krisis. Kebebasan liar ini pun membuat
dunia semakin timpang, sebagaimana kritik Jeffrey Sachs bukunya
tersebut bahwa krisis global sebagai produk dari peradaban yang
lupa membayar ongkos kemakmuran. Gagasan ini pun diamini
oleh Thomas Piketty dalam “Capital in the Twenty-First Century”.


Dengan dunia yang semakin terhubung, muncul efek paradoksal
sebagaimana Dani Rodrik mengulas lekat melalui bukunya The
Globalization Paradox. Globalisasi yang dicirikan oleh semakin
intensifnya proses interaksi antar negara adalah suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindari. Batas-batas geografis antar negara
semakin berkurang signifikansinya yang mengakibatkan pergeseran
strategi kebijakan. Rodrik mengingatkan kita bahwa dibalik
keterhubungan yang hiper, tercipta ruang perngorbanan. Salah satu
bentuk ruang pengorbanan tersebut adalah dari kebijakan domestik
suatu negara yang akan selalu terhimpit oleh fenomena global.
Lantas, bagaimana arah perekonomian dunia kedepan? Tahun
2023 ini bisa jadi menjadi titik infleksi yang menentukan. Apakah
perekonomian dunia yang tengah meranggas akibat tandus hanya

efek sementara, atau jangan-jangan ketandusan ini adalah hal
yang abysmal alias tanpa ujung. Tantangan perekonomian dunia
kedepan tentu jauh dari mudah, namun jika kebijakan dibuat melalui
konsensus yang egaliter, bisa jadi gejolak berikutnya akan mampu
kita lalui tanpa bekas cedera yang serius. Perekonomian dunia yang
kini tengah meranggas belum tentu berujung tandas, barangkali ini
adalah cerminan harapan dimasa depan bahwa dunia akan lepas
dari ketandusan.

About the Author: admin

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *