MENYUARAKAN YANG TAK TERDENGAR: Pemikiran, Agensi, dan Gerakan Perempuan dibalik Lembar Kitab Suci.

Segera Terbit

MENYUARAKAN YANG TAK TERDENGAR:
Pemikiran, Agensi, dan Gerakan Perempuan
dibalik Lembar Kitab Suci.

Editor
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Yus Broersma
Christine Hutubessy
Penulis
Asnath N. Natar
Haryani Saptaningtyas
Ina ter Avest
Liliya Wetangterah
Marhaeni L Mawuntu
Nahdia Aurelia Aurita
Riska Dwi Agustin
Rosidin
Stebby Julionatan
Stella Anjani
Vanesha Febrilly
Wanda Roxanne Ratu Pricillia

 

Kata-kata terkenal dari Dr. Martin Luther King Jr pada bulan
Maret 1968, hampir sebulan sebelum dia dibunuh pada tanggal 4
April, Dr. King, seorang pendeta Baptis Amerika, yang dikenal
sebagai juru bicara dan pemimpin terkemuka dalam gerakan hakhak
sipil di AS, mengatakan hal tersebut bukan karena dia
mendukung aksi pemberontakan yang kejam, tidak, karena pada
kenyataannya, dia sangat menentang berbagai tindakan
kerusuhan. Ungkapan tersebut dikatakannya karena di saat itu,
bagi mereka yang hak-hak sipilnya dicabut, maka tidak ada satu
tempat pun yang bisa mendengarkan suara mereka, atau bahkan
mendapat perhatian, baik dari pemerintah maupun dari
masyarakat.

Sejatinya, kita juga hidup dalam situasi minoritas yang
tertindas dan ketidaksetaraan gender yang merangsek secarasistemik dan melembaga. Namun, kami percaya bahwa ada cara
yang lebih bijak daripada melakukan perlawanan melalui caracara
berkekerasan di jalanan. Kami yakin bahwa pemahaman
agama dan praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dapat
memainkan peran mendasar dalam meme-rangi tindak ketidakadilan.
Karenanya, kami mendukung dialog tanpa kekerasan yang
dibangun melalui konsensus dengan semua pemangku
kepentingan. Meskipun demikian, ketika kita melihat arah gerakan
pemenuhan hak-hak sipil dari waktu ke waktu hingga saat ini,
lantas, kamipun bertanya, apa yang dapat kita lakukan untuk
membantu kelompok minoritas dalam mengangkat suara mereka
untuk melawan penindasan, intoleransi, diskriminasi, penganiayaan,
pelecehan, dan lainnya, baik secara fisik maupun verbal?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dalam loka-karya
Kelompok Kerja NICMCR tentang Gender dan Agama (Pokja
Gender) pada November 2019. Bersama dengan Pokja Pendidikan
Keagamaan Inklusif dan Pokja Ekologi, Pokja Gender dicetuskan
pada 2018 oleh Konsorsium Belanda-Indonesia untuk Hubungan
Muslim-Kristen (Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-
Christian Relations/ NICMCR). Pokja gender bertugas mendukung
Steering Committee dalam mengimplementasikan kebijakan
NICMCR tentang isu-isu gender. Konsorsium adalah jaringan nonpemerintah
dari universitas dan organisasi masyarakat sipil di
Belanda dan Indonesia, terdiri dari cendekiawan Muslim dan
Kristen, serta pemimpin agama dan praktisi. Konsorsium ini
membangun pertukaran pengetahuan melalui penelitian, dialog
dan kemitraan antara lembaga pendidikan dan lembaga
masyarakat sipil Indonesia dan Belanda yang berbasis agama
Islam dan Kristen. Keadilan, kesetaraan, dan pembebasan dari
semua belenggu yang tidak memanusiakan kelompok rentan dan
marjinal menopang kerja-kerja akademik dan sosial budaya
Konsorsium dan ketiga Pokjanya. Karenanya, Konsorsium menganggap penting untuk turut berkontribusi pada hubungan
yang seimbang antara negara, komunitas agama, dan masyarakat
sipil.


Dalam lokakarya NICMCR di November 2019, terlihat jelas
bagaimana kekuatan kajian agama, advokasi dan gerakan Kristen
dan Muslim di tingkat komunitas dalam jaring an Pokja sangat
menentukan arah pengembangan wacana alternatif penting
untuk peningkatan peran komunitas agama. Kajian-kajian agama ini
semakin memperkuat kesadaran tentang kontestasi penafsiran
dan pemahaman agama, baik yang mengacu pada makna teks-teks
Islam dan Kristen maupun praktik-praktik keagamaan yang
dianut dalam komunitas Muslim dan Kristen. Proses akademik ini
memunculkan refleksi metodologis yang dapat digunakan sebagai
aset sekaligus metode alternatif pada wacana kritis dengan
perspektif gender dan agama. Dengan cara ini, Pokja turut
berkontribusi pada aktivisme yang dapat membawa perubahan
menuju kehidupan yang lebih manusiawi, sesuai dengan ajaran
Islam dan Kristen. Penanggulangan sejumlah isu kemanusiaan
seperti pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga,
perdagangan manusia, kekerasan sosial dan bencana alam
merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivisme ini. Sebuah
aktivisme yang mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai dasar
ajaran Islam dan Kristen dan berkomitmen untuk terus-menerus
menghadapi berbagai tantangannya, baik secara individu maupun
kolektif.

Berbasis spirit tersebut, lokakarya menyadari bahwa
kekayaan pengetahuan dan pengalaman aktivisme jaringandi
dalam Pokja Gender merupakan harta penting yang harus
didokumentasikan. Sebuah buku bunga rampai dipilih karena
bentuknya memberi ruang hadirnya berbagai pemikiran,
pendampingan, dan pengalaman advokasi yang telah dilakukan
aktivis Muslim dan Kristen di Indonesia dan di Belanda.

About the Author: admin

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *