Aplikasi Psikologi Sosial Dalam Kajian Radikalisasi dan Terorisme: Upaya Prevensi Dan Rehabilitasi

Segera Terbit

Aplikasi Psikologi Sosial Dalam Kajian Radikalisasi dan Terorisme: Upaya Prevensi Dan Rehabilitasi

Penulis : Mirra Noor Milla

Merefleksikan kembali 18 tahun perjalanan saya menekuni topik radikalisasi dan terorisme, saya masih ingat, tepat satu tahun serangan Bom Bali 2002, Majalah Tempo menerbitkan Edisi Khusus Peringatan Bom Bali yang di dalamnya menampilkan wawancara terhadap para pelaku. Salah seorang pelaku yaitu Imam Samudera, membuat kita merenung, mengapa seorang anak muda berprestasi, yang mampu mengartikulasikan prinsip dan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup dengan jelas, serta memiliki keyakinan yang kuat tentang apa yang diinginkan dan apa yang harus dikorbankan, justru masuk dalam jurang terorisme atas nama agama. Pada saat yang sama banyak anak muda yang masih tenggelam dalam pergulatan otonomi atau kegalauan romansa. Dalam pandangan naive saya sebagai orang yang belajar Psikologi, kualitas diri yang dimiliki oleh Imam seharusnya dapat lebih mendorong perubahan sosial yang konstruktif bukan kepada tindakan kekerasan ekstrem di luar batas kemanusiaan, yaitu terorisme. Profil Iman menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dalam terorisme adalah orang biasa yang dapat kita temui di sekitar kita.

Telah lebih dari dua puluh tahun sejak serangan Bom Bali 2002, permasalahan terorisme di Indonesia hingga hari ini masih terus berlanjut. Meskipun berdasarkan data Global Terrorisme Index dari tahun 2021-2022 (GTI Report, 2023), secara keseluruhan di wilayah Asia Selatan, Indonesia menjadi salah satu negara yang menunjukkan dampak penurunan kerusakan akibat terorisme, dibandingkan tahun 2021 dan sebelumnya pada masa ISIS masih memiliki wilayah kekuasaan teritorial di Suriah dan Irak.

Menghadapi serangan terorisme berulang, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak dibentuk tahun 2010, telah mengkoordinasikan upaya pencegahan, penindakan dan pembinaan rehabilitasi terhadap kelompok rentan, kelompok terpapar serta narapidana dan eks narapidana kasus terorisme yang dikelola secara terstruktur. Upaya pencegahan terorisme juga melibatkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan 46 K/L dalam Program Sinergisitas, kolaborasi dengan kalangan akademisi dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Bukan hal yang mudah mengklaim keberhasilan dalam upaya ini. Sementara upaya pencegahan, penindakan, pembinaan terus dilakukan, pada saat bersamaan kajian evaluasi baik yang bersifat prospektif dan retrospektif diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas progam. Dalam hal ini terorisme merupakan fenomena makro yang dikaji lintas disiplin ilmu, peran psikologi, khususnya psikologi sosial, perlu diperjelas dan diintegrasikan dengan baik dalam upaya bersama untuk prevensi maupun rehabilitasi.

Dalam kerangka model radikalisasi 3N, kelompok berperan sebagai vektor. Individu membutuhkan kelompok untuk memenuhi kebutuhan akan kebermaknaan diri (need to belong). Berdasarkan perspektif uncertainty identity theory (Hogg, 2014), relasi individu dengan kelompok tersebut mendapatkan penekanan, didasarkan pada kebutuhan kepastian identitas. Uncertainty identity theory mendasarkan pada asumsi bahwa setiap individu membutuhkan orang lain, khususnya kelompok. Individu membutuhkan feedback untuk mengetahui siapa diri kita, bagaimana kita harus bertindak, dan tentang bagaimana orang lain memandang kita, serta apa dan bagaimana mereka akan bertindak terhadap kita. Hasil observasi yang dilakukan pada ekstremis, mereka semua mungkin mengalami ketidakpastian atau ketidakjelasan epistemik dan mengidentifikasi diri mereka dengan satu kelompok yang jelas. Individu dengan uncertainty identity tinggi, akan cenderung fit dengan kelompok ekstremis untuk mengurangi ketidakpastian diri (Grieve & Hogg, 1999; Mullin & Hogg, 1998).

About the Author: admin

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *