Segera Terbit
Peran Keilmuan Obstetri dan Ginekologi Sosial Terhadap Cakupan Skrining Kanker Serviks di Era Transformasi Kesehatan Indonesia
Penulis: Junita Indarti
Data Globocan 2020 menunjukkan bahwa angka kejadian kanker serviks di Indonesia masih berada pada angka 24,4/100.000 penduduk. Jika dibandingkan dengan rerata kejadian kanker serviks di negara berkembang lain seperti India (18/100.000 penduduk perempuan) dan Malaysia (10,5/100.000 penduduk perempuan), dan di negara maju contohnya Singapura sebagai negara tetangga Indonesia, angka kejadian ini berada pada angka 6,87/100.000 penduduk perempuan5,6,7,8. Angka kejadian di Indonesia masih tergolong sangat tinggi. Tanpa adanya tindak lanjut yang adekuat dan efektif, angka kanker serviks ini akan terus mengalami peningkatan.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021, kanker serviks masih menempati peringkat ke-2 setelah kanker payudara sebanyak 36.633 kasus (17,2% dari seluruh kanker pada wanita), dan memiliki angka mortalitas yang tinggi sebanyak 21.003 kematian (19,1% dari seluruh kematian akibat kanker). Bila dibandingkan angka kejadian kanker serviks di Indonesia pada tahun 2008, terjadi peningkatan 2 kali lipat.
Untuk meningkatkan cakupan skrining kanker serviks di Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah yang komprehensif. Diperlukan kebijakan yang kuat dan tegas untuk mendorong peningkatan cakupan skrining kanker serviks di Indonesia. Hal ini meliputi pengintegrasian kebijakan skrining dan vaksinasi HPV pada program kesehatan yang sudah ada. Dalam upaya ini, diperlukan adanya koordinasi lintas sektor dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, organisasi profesi, Rumah Sakit dan Puskesmas, agar kebijakan dan regulasi tersebut dapat diterima secara luas dan berjalan langgeng. Tentunya, diperlukan alokasi dana dari pemerintah untuk membiayai seluruh program yang sudah dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan. Biaya yang dikeluarkan untuk pencegahan kanker serviks ini akan lebih murah apabila dibandingkan dengan biaya untuk pengobatan kanker serviks stadium lanjut, dimana angka ketahanan hidup 5 tahunnya sangat rendah dan tidak dapat sembuh.
Kita akan dihadapi pada perubahan sistem kesehatan, tuntutan etika yang lebih tinggi dan tugas yang semakin kompleks. Namun, di tengah semua tantangan ini, semangat kita sebagai dokter harus tetap berkobar. Semangat kita harus melekat pada setiap tindakan yang kita lakukan, setiap pasien yang kita layani, dan setiap masalah yang kita hadapi. Semangat itu berarati kita harus terus berinovasi dan belajar sehingga kita dapat menjadi dokter yang teladan, menjaga integritas dan menjunjung tinggi etika.