
Segera Terbit!!!
DINAMIKA DAN TANTANGAN PENGAWASAN INTERNAL KEPOLISIAN
Penulis:
Ni Made Martini Puteri
Kisnu Widagso
Reni Kartikawati
Natasya Hana Rumondang
Choky R. Ramadhan
Bestha Inatsan
Kepolisian merupakan institusi negara yang berperan penting sebagai penjaga gerbang
(gatekeeper) sistem peradilan pidana dengan mandat utama melayani dan melindungi.
Kepolisian diharapkan tidak hanya menanggulangi, tetapi juga dapat mencegah kejahatan
dan dalam menjalankan mandatnya diberikan kewenangan mengunakan upaya paksa dan
kekerasan, selain dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, korban dan saksi dari
suatu peristiwa kejahatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gerakan “no viral, no justice”, yakni inisiatif
masyarakat untuk mengunggah layanan publik yang dianggap tidak mencerminkan
mandat utama dan lahir dari berbagai temuan kasus. Layanan kepolisian tidak lepas dari
sorotan gerakan ini. Beberapa kasus yang mencuat, seperti tragedi Kanjuruhan, praktik judi
daring, dan kasus Djakarta Warehouse Project (DWP) menjadi perhatian publik luas karena
tersebar melalui media sosial. Fenomena ini sekaligus mencerminkan rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian—sebuah kondisi yang perlu segera
diperbaiki.
Hal ini pulalah yang menjadi latar belakang mengapa kriminologi kritis semakin menguat.
Richard Quinney, di dalam bukunya The Social Reality of Crime (1970) dan Critique of Legal
Order: Crime Control in Capitalist Society (1974) adalah satu dari banyak kriminolog yang
memberikan kritik keras terhadap bagaimana bekerjanya sistem peradilan pidana,
termasuk kepolisian. Kritik utama para kriminolog kritis adalah mengungkap bahwa
kepolisian bekerja hanya sebagai alat kekuasaan politik dan ekonomi.
Hingga saat ini, perhatian kriminologi terhadap bekerjanya kepolisian sangatlah besar.
Tidak hanya dari sisi kriminologi administratif yang membahas bagaimana strategi
pemolisian idealnya dilakukan dalam konteks pengendalian sosial kejahatan, tetapi juga
pada sisi penguatan mekanisme pengendalian terhadap pemolisian itu sendiri.
Perkembangan dalam 10 tahun terakhir di Amerika Serikat membuktikan ini. Selain adanya
indikasi rasisme, kepolisian bekerja lebih mengedepankan kekerasan. Puncaknya adalah
peristiwa terbunuhnya George Floyd akibat kekerasan anggota kepolisian Minneapolis
tahun 2020 lalu yang berkibat munculnya gelombang protes keras terhadap kinerja
kepolisian.
Pengalaman Indonesia tidak kalah menarik untuk dijadikan perhatian. Banyak penelitian
hingga 'jurnalisme warga' membuktikan masih banyak terjadinya penyimpangan hingga
kekerasan oleh anggota kepolisian. Kejadian Kanjuruhan di Malang tahun 2022 lalu, yang
berakibat meninggalnya 135 orang pendukung sepak bola, tidak hanya disebabkan oleh
kondisi stadion yang relatif tidak memadai, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana aparat
kepolisian menangani massa.
Pengawasan terhadap kepolisian karenanya menjadi sangat penting.
Kewenangan kepolisian yang relatif besar, di dalam pengendalian sosial termasuk
penegakan hukum mengharuskan akuntabilitas. Kepolisian memiliki kewenangan di dalam
menggunakan kekerasan, menangkap dan menahan di dalam dalam konteks penyelidikan
dan penyidikan. Bila kewenangan ini minim pengawasan, maka penyalahgunaan
kewenangan, penyimpangan, hingga kekerasan sangat mungkin terjadi dengan mudah.
