
Segera Terbit
Sebuah Catatan Tentang Para Saudara di Eropa
Penulis : Muhammad Dian Revindo
Perkiraan Harga Jual : Rp. 88.000
Meskipun bukan sebuah “karya akademik,” buku yang ditulis oleh Sdr. Revindo ini berisi kisah‐kisah mencerahkan yang sangat bermanfaat bagi pembaca dan publik luas di Indonesia terutama mereka yang belum pernah bersentuhan langsung dengan dunia Barat tapi seolah‐olah mengetahui “jeroan” Barat, dan celakanya lagi, hobi mengecam warga negara Barat yang tidak pernah mereka “gauli” itu. Buku ini juga berisi tentang pengalaman sosial‐intelektual‐spiritual yang sangat berharga serta pelajaran moral yang sangat kaya—tentu saja bagi yang bersedia membacanya dan bersedia untuk memetik buahnya—mengenai berbagai hal: tentang toleransi beragama, solidaritas sosial, kebaikan agama lain, perjuangan hidup, kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa, kemaslahatan umat, dan masih banyak lagi.
Pula, buku mungil ini berisi tentang sejumlah “pengalaman getir” yang bisa menjadi pepeling atau peringatan bagi siapapun. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari karya ini adalah bahwa kebaikan dan keburukan bukanlah monopoli pengikut agama tertentu, negara tententu, etnis tertentu dan seterusnya, melainkan sesuatu yang sifatnya universal yang bisa terjadi di umat manapun, di agama apapun, dan di negara manapun. Di Indonesia dewasa ini misalnya ada sekelompok Muslim dan ormas Islam yang begitu fanatik dengan hal‐ikhwal yang berbau Arab dan Timur Tengah. Arab dan Timur Tengah buat kelompok fanatik ini dipandang sebagai “sumber kebaikan universal” atau “kiblat” untuk segala hal: dari ibadah akhirat yang sakral sampai masalah duniawiyah yang profan. Sebaliknya, mereka berpandangan miring dengan hal‐ikhwal yang berhubungan dengan Barat seolah‐olah tidak ada kebaikan secuilpun di Barat. Dunia Barat, bagi kelompok ini, identik atau diidentikkan dengan “sumber keburukan dan kemaksiatan” semata.

Buku ini antara lain mengajarkan tentang fakta pluralitas ini, yakni di negara manapun dan di masyarakat manapun di dunia ini, keragaman merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa dihindari: pluralitas etnis, bahasa, agama, pemikiran, pendapat, kebudayaan, makanan, tradisi, jender, dan seterusnya. Belgia juga tidak luput dari watak pluralitas ini. Seperti dituturkan dan dialami sendiri oleh penulis buku ini, masyarakat dan kebudayaan di negara ini pun sangat warna‐warni (colorful). Yang dimaksud dengan kebudayaan (culture) di tulisan ini adalah “socially distributted knowledge and habits” atau sebuah “kebiasaan dan pengetahuan yang didistribusikan secara sosial dalam sebuah masyarakat.” Sebagaimana negara lain, Belgia juga bukan sebuah suku‐bangsa homogen, melainkan syarat dengan keragaman. Bahkan diantara sesama warga Indonesia yang penulis temui sendiri di Leuven pun tidak lepas dari ke‐bhineka‐an ini. Ada yang santri saleh, Muslim setengah taat, “abangan,” Kristen dan seterusnya.
Melalui buku ini, penulis tidak sekedar ingin berbagi cerita dan pengalaman hidup selama tinggal di Leuven, Belgia, kepada pembaca di Indonesia melainkan juga ingin menyampaikan rentetan pelajaran dari aneka peristiwa yang ia lihat, dengar, rasakan, dan alami selama tinggal di Lauven. Dengan menjelenterehkan kasus demi kasus, momen demi momen, penulis berharap para pembaca menjadi lebih kaya wawasan mengenai “dunia lain” sehingga diharapkan mereka tidak mudah untuk menghakimi “orang lain,” “komunitas lain” atau “bangsa lain,” sementara dengan entengnya memuja‐muja agamanya sendiri, komunitasnya sendiri atau bangsanya sendiri. Memang salah satu penyakit manusia adalah sering lupa dengan “borok‐boroknya” sendiri sementara dengan mudah menuding kebobrokan orang dan komunitas lain. Tentu saja penilaian semacam ini selain tidak akurat dan berlawanan dengan fakta‐fakta sosiologis yang plural juga berpotensi menimbulkan konflik dan ketegangan antar‐kelompok atau bahkan “antar‐peradaban” seperti yang pernah disinggung oleh ilmuwan politik kondang mendiang Samuel Huntington dalam buku populernya, The Clash of Civilizations.